Mengenal Agama Kuno Kapitayan dan Tanggapan Buya Syakur tentang Agama Kapitayan

Kapitayan menurut sejarawan merupakan agama asli dari suku Jawa-PNG-

Artinya Sanghyang Taya ini menurut penganut agama Kapitayan tidak bisa didefinisikan karena ia bersifat absolut.

Penganutnya hanya mendefinisikannya dengan kalimat "tan kena kinaya ngapa", yang berarti tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya.

Kalimat tersebut hampir sama dengan ayat al-Qur'an surat asy-Syura ayat 11, yang berbunyi "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah)".

Cara beribadah agama Kapitayan

Penganut agama Kapitayan berdasarkan ibadahnya dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yakni penganut awam dan para ruhaniawan.

Penganut awam untuk dapat mengenal dan menyembah Sanghyang Taya masih memerlukan objek yang menurut mereka merupakan manifestasi dari sesembahannya.

Objek-objek yang dipakai untuk sesembahan ini identik dengan sesuatu yang memiliki unsur nama Tu atau To, diantaranya adalah wa-Tu (batu), Tu-gu, Tu-k (mata air), Tu-nda (punden berundak), Tu-ngkub (bangunan suci), To-san (pusaka), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Untuk melengkapi proses pemujaannya, kelompok ini menyediakan sajen berupa Tu-mpeng, Tu-mbu (keranjang tempat bunga), Tu-mpi (kue dari tepung), Tu-ak (arak), dan Tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan pada Sanghyang Taya yang mempribadi pada sesuatu-sesuatu yang sudah disebutkan sebelumnya tersebut.

BACA JUGA:Membaca Legenda Gunung Kakak Beradik di Jawa Tengah

BACA JUGA:Antara Legenda dan Fakta, Berikut 3 Gunung yang Dianggap Berkeluarga di Wonosobo

Sedangkan para ruhaniawan melakukan ibadah di suatu tempat yang bernama sanggar, tempat ini adalah bangunan suci yang berbentuk segi empat beratap tumpang dan memiliki Tutu-k (lubang ceruk) di dindingnya, lubang ini menjadi lambang kehampaan Sanghyang Taya.

Nah proses ibadah dari para ruhaniawan Kapitayan inilah yang hampir sama dengan ibadahnhya umat Islam, yakni Shalat.

Proses ibadah dimulai dengan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutu-k (lubang ceruk), kemudian mereka mengangkat kedua tangan sambil berusaha menghadirkan Sanghyang Taya di dalam Tutu-d (hati).

Setelah itu tangan diturunkan dan didekapkan di dada, posisi ini disebut dengan swa-dikep (memegang ke-akuan).

Proses ini dilakukan dengan waktu yang cukup lama, kemudian setelah selesai dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkukkan bada menghadap ke bawah).

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan